Kata Ibu
“Hidup itu penuh pilihan yang sulit”
Ibuku
mengatakan hal ini ketika aku masih kecil, saat itu sulit bagiku untuk
benar-benar memahami apa yang dimaksud ibuku, mungkin karena otakku yang pada
saat itu juga masih kecil. Tapi suatu pengalaman benar-benar membuatku yakin
kalau yang diucapkan ibuku itu sangat benar.
Kejadiannya
sekitar beberapa tahun yang lalu tepatnya ketika 3 hari menjelang hari raya
‘iduh Adha. Waktu itu aku berstatus sebagai santri salah satu pondok pesantren,
dan sialnya pihak pondok pesantren tidak mengizinkan santri untuk pulang atau
liburan dirumah, dengan alasan masa libur yang hanya seminggu, padahal aku
sudah cukup lama tidak pulang.
Aku berkeliling
pesantren sembari meratapi kesialanku karena gagal liburan di rumah. Aku merasa
seperti narapidana yang dikurung di kawasan yang di kelilingi pagar yang
lumayan tinggi. “Pagar...” otakku berdenting, aku berpikir pagar di pesantrenku
tidak terlalu tinggi, kurasa aku mampu melompatinya, sementara semua orang
sedang sibuk mempersiapkan hari raya qurban, jadi kupikir tidak akan ada yang
tahu kalau aku melarikan diri dengan cara lompat pagar. Untuk masalah
hukuman
aku tinggal membawa orang tuaku ketika kembali, dan biar orang tuaku yang
menjelaskan dan memohon kemaafan untukku.
Tekadku sudah
bulat, aku langsung mengemasi beberapa barang-barangku dan langsung menuju
tembok pagar yang berada dibagian belakang pesantren. Karena jarang olah raga
aku jadi agak kesulitan mengangkat badanku ke atas, dan ternyata ini ga semulus
yang aku kira, tiba-tiba
“Wooooi...
cabut kau ya”
Seorang satpam penjaga pesantren bertubuh gempal memergokiku
sambil berlari ke arahku, aku mempercepat gerakku, dan akhirnya aku sampai di
atas tembok pembatas antara pesantren dan dunia luar.
Tapi kesialan
belum usai aku lupa kalau tembok bagian belakang ini langsung berbatasan dengan
pemukiman warga, dan pada saat itu sedang ada acara perwiridan di salah satu
rumah yang dekat dengan tembok pesantren. Salah seorang dari warga melihatku
dan langsung berteriak
“Heeeeh...
Maling kau ya”
“Bukan Pak..
aku santri” jawabku panik
“Ah mana ada
anak pesantren manjat-manjat pagar”
“Bukan, pak..
dengar dulu” belum siap aku berkata
“Maliiing...
maliing, woiii ada maling”
Dalam waktu singkat warga sudah berkumpul di bawah,
bagaikan kumpulan buaya yang menunggu ayam yang dilempar dari atas.
Di sisi lain... satpam gendut mencoba memanjat
pagar, untungnya ia tak kuasa mengangkat beban tubuhnya, jadi ia hanya bisa
berteriak-teriah menyuruhku turun dari bawah.
Kini keadaannya cukup dilematis,
di sisi kananku ada segerombolan warga yang mungkin akan langsung mengerubutiku
jika aku turun, sementara disisi kiriku ada satpat gendut yang akan langsung
membawaku ke hadapan kepala pengasuhan jika berhasil menangkapku, aku bakalan
di botak dan gagal pulang.
Aku terdiam dan
gemetar sambil bergumam dalam hati, mungkin ini yang dimaksud ibu kalau “hidup
itu penuh pilihan yang sulit”, jika kalian jadi aku jalan mana yang akan kalian
pilih kiri atau kanan?
Tapi dengan
tekad, keyakinan, serta keinginan untuk pulang yang kuat, aku memberanikan diri
untuk lompat ke sisi kanan, warga langsung berusaha menangkapku namun dengan
sekuat tenaga aku
berhasil lolos dengan sedikit robek di lengan baju.
Dan kalian tahu
itu salah satu dilema terburuk yang pernah kualami.
bukan bang, itu dilemma terbaik hahahahaha
BalasHapusya... mungkin juga
BalasHapusHahaha keren ustadz
BalasHapus