Jumat, 06 Juli 2012

Kata Ibu


Kata Ibu
“Hidup itu penuh pilihan yang sulit”
Ibuku mengatakan hal ini ketika aku masih kecil, saat itu sulit bagiku untuk benar-benar memahami apa yang dimaksud ibuku, mungkin karena otakku yang pada saat itu juga masih kecil. Tapi suatu pengalaman benar-benar membuatku yakin kalau yang diucapkan ibuku itu sangat benar.

 Kejadiannya sekitar beberapa tahun yang lalu tepatnya ketika 3 hari menjelang hari raya ‘iduh Adha. Waktu itu aku berstatus sebagai santri salah satu pondok pesantren, dan sialnya pihak pondok pesantren tidak mengizinkan santri untuk pulang atau liburan dirumah, dengan alasan masa libur yang hanya seminggu, padahal aku sudah cukup lama tidak pulang.

Aku berkeliling pesantren sembari meratapi kesialanku karena gagal liburan di rumah. Aku merasa seperti narapidana yang dikurung di kawasan yang di kelilingi pagar yang lumayan tinggi. “Pagar...” otakku berdenting, aku berpikir pagar di pesantrenku tidak terlalu tinggi, kurasa aku mampu melompatinya, sementara semua orang sedang sibuk mempersiapkan hari raya qurban, jadi kupikir tidak akan ada yang tahu kalau aku melarikan diri dengan cara lompat pagar. Untuk masalah
hukuman aku tinggal membawa orang tuaku ketika kembali, dan biar orang tuaku yang menjelaskan dan memohon kemaafan untukku.

 Tekadku sudah bulat, aku langsung mengemasi beberapa barang-barangku dan langsung menuju tembok pagar yang berada dibagian belakang pesantren. Karena jarang olah raga aku jadi agak kesulitan mengangkat badanku ke atas, dan ternyata ini ga semulus yang aku kira, tiba-tiba

 “Wooooi... cabut kau ya” 

Seorang satpam penjaga pesantren bertubuh gempal memergokiku sambil berlari ke arahku, aku mempercepat gerakku, dan akhirnya aku sampai di atas tembok pembatas antara pesantren dan dunia luar.

Tapi kesialan belum usai aku lupa kalau tembok bagian belakang ini langsung berbatasan dengan pemukiman warga, dan pada saat itu sedang ada acara perwiridan di salah satu rumah yang dekat dengan tembok pesantren. Salah seorang dari warga melihatku dan langsung berteriak

“Heeeeh... Maling kau ya”

“Bukan Pak.. aku santri” jawabku panik

“Ah mana ada anak pesantren manjat-manjat pagar”

“Bukan, pak.. dengar dulu” belum siap aku berkata

“Maliiing... maliing, woiii ada maling” 

Dalam waktu singkat warga sudah berkumpul di bawah, bagaikan kumpulan buaya yang menunggu ayam yang dilempar dari atas.

Di sisi lain... satpam gendut mencoba memanjat pagar, untungnya ia tak kuasa mengangkat beban tubuhnya, jadi ia hanya bisa berteriak-teriah menyuruhku turun dari bawah.

Kini keadaannya cukup dilematis, di sisi kananku ada segerombolan warga yang mungkin akan langsung mengerubutiku jika aku turun, sementara disisi kiriku ada satpat gendut yang akan langsung membawaku ke hadapan kepala pengasuhan jika berhasil menangkapku, aku bakalan di botak dan gagal pulang.

Aku terdiam dan gemetar sambil bergumam dalam hati, mungkin ini yang dimaksud ibu kalau “hidup itu penuh pilihan yang sulit”, jika kalian jadi aku jalan mana yang akan kalian pilih kiri atau kanan?
Tapi dengan tekad, keyakinan, serta keinginan untuk pulang yang kuat, aku memberanikan diri untuk lompat ke sisi kanan, warga langsung berusaha menangkapku namun dengan sekuat tenaga aku 
berhasil lolos dengan sedikit robek di lengan baju.

Dan kalian tahu itu salah satu dilema terburuk yang pernah kualami.

3 komentar: