My Life


ga terasa udah genap 21 tahun aku hidup di dunia ini, begitu banyak bentuk proses kehidupan yang aku alami, ingin rasanya kembali mengenang semua itu, mungkin saja bisa mengundang senyum dan mengambil pelajaran yang terlewatkan di masa lalu.


Bandar setia pukul , 12 Maret 1990, pukul 13.00 WIB

Seorang wanita paruh baya tampak duduk lemas di depan tumpukan pakaian kotor yang belum selesai ia cuci, ia kelihatan meringis sambil memegang perutnya yang sudah tampak cukup besar. Dari kejauhan tampak seorang pria baru saja turun dari sepedanya sambil membawa tiga ekor ikan hasil pancingannya.
“Wes.. Mancing wae lah..!! men aku ngelahirin dewe’an” (udah mancing aja lah terus..!! biar aku melahirkan sendiri)
Wanita tadi berkata setengah berteriak kepada pria tersebut dengan logat jawanya yang kental, pria itu kaget mendengar kata-kata wanita yang tengah meringis tersebut, si pria dengan sigap langsung merangkul dan membantu wanita itu berjalan masuk ke kamar. Kini pria itu tengah bingung melihat wanita yang tidak lain tidak bukan adalah istri tercintanya itu tengah meringis kesakitan.
“loh kok malah meneng wae... celuk si Sembiring!!” (loh kok malah diem aja.. panggil si Sembiring!!)
“Lah terus koe ambek sopo....??” (lah terus kamu sama siapa..??)
“Wes ga’ opo-opo, engko diluk eneh Rubiem merene..” (udah ga apa-apa bentar lagi Rubiem kemari..)
Si pria tadi pun langsung menuju ke rumah seorang bidan atau lebih akrab disebut dukun beranak di daerah tembung dengan meminjam sepeda motor tetangganya.
Itulah kejadian beberapa jam sebelum pembrojolanku, walaupun Sembiring tiba di rumahku pukul 14.00 tapi aku masih belum mau keluar, mungkin aku malu kalau harus keluar tanpa busana, tapi karena memang dalam rahim ibuku ga ada lemari pakaian mau ga mau aku pun harus keluar pada pukul 20.50 WIB, dan langsung mendengar lafazh-lafazh azan dari bibir ayahku.
So, inilah aku Irhas Pulus Bin Pungut BSW Bin Serun Bin Sumolio Bin H. Abdullah Mukri
Ibuku Lusminiati binti Samio.
Jadi kalau ada yang bilang aku anak pungut itu benar. Tapi kalau masih ada yang ga percaya kalau aku ini dilahirin (mungkin ada yang mikir kalau aku ini dilepehin atau keluar dari batu) ini buktinya.


Tahun 1995
Kali pertama Irhas kecil mengenyam bangku pendidikan, TK Amin Darussalam menjadi saksi, beberapa guru yang selalu mendidik Irhas kecil dengan sabar adalah, Bu Iwa, Bu Lia, Bu Rodiah dan Bu Itin, mereka benar benar super women yang ekstra sabar.
Sangat sulit pasti mendidik anak kecil yang kadang tingkahnya seperti kera yang lompat sana lompat sini, tapi mereka bisa dan cukup berhasil, karena mampu menjadikan Irhas kecil bisa berhitung membaca dan pengetahuan lainnya. Semoga selama Irhas memanfaatkan ilmu yang mereka beri pahala senantiasa mengalir untuk mereka
Pelajaran : Sampaikanlah ilmu walau kepada anak kecil sekalipun..

Tahun 1996
Kini Irhas sudah berumur enam tahun, dan melanjutkan pendidikan di SD Negri Inpress 104202, beberapa guru yang berjasa besar atas Irhas adalah Bu Rus, Bu Poni, Bu Rohani, dan Bu Erna Sipayung.
Ini SD negeri, seragamnya adalah Baju kemeja putih dengan celana pendek merah dilengkapi dasi dan topi berwarna merah. Tapi Irhas kecil sangat tidak nyaman dengan celana pendek, karena itu Irhas mengancam sambil menangis ia tidak mau sekolah jika harus memakai celana pendek, akhirnya ayahnya pun menyampaikan hal tersebut kepada ibu Aidar Sumarni yang menjabat sebagai kepala sekolah, dengan kemurahan hati Ibu Aidar dan dukungan dari Pak Ruslan (Guru Agama Islam) akhirnya Irhas diizinkan untuk mengenakan celana panjang berwarna merah ketika sekolah. Jadilah Irhas murid paling beda secara penampilan dari murid yang lainnya

Tahun 2002
Ponpes Modern Nurul Hakim menjadi belenggu kehidupan bagi Irhas, tapi itu semua demi kebaikannya, karena keluarganya dan ia sendiri pun sudah sepakat untuk memilih pesantren tersebut menjadi sambungan pendidikan setelah tamat SD.
Air mata Irhas hampir menembus bendungannya ketika melihat dua pasang kaki dari orang tuanya meninggalkan dirinya di Pondok pesantren ini, Ia sempat berpikir bahwa pilihannya untuk masuk pondok pesantren adalah sebuah kekeliruan, tapi ayahanda Ghozali kepala pengasuhan pondok langsung merangkulnya sembari menguatkan hati kecilnya.
Irhas memulai kehidupan mandirinya, mulai dari merapikan tempat tidur, merapikan lemari pakaian, mencuci piring dan beberapa potong pakaian, semua ia kerjakan sebisanya. Tanpa ia sadari beberapa pengalaman hidup yang ia dapat di Pondok membuatnya mulai sedikit tahan banting terhadap permasalahan hidup.
Ditambah dengan solidnya persahabatan pondok membuat Irhas merasa bahwa pilihan yang ia buat memang tepat.

Tahu 2005
Setelah tiga tahun merasakan sistem pembelajaran pondok yang terbatas wilayah dan ruangnya, irhas memutuskan untuk kembali merasakan dunia luar, dan ternyata bapaknya menyetujui keinginannya, dan MAN 1 Medan menjadi pilihannya.
Dengan nilai yang cukup baik Irhas Remaja akhirnya dinyatakan lulus masuk di Man 1 dan ia ditempatkan di kelas X-1. Irhas selanjutnya memilih jurusan IPA di kelas XI, dan sialnya ia ditempatkan di kelas XI-IPA 1, kepalanya langsung cenat-cenut mendengar penempatannya, ia membayangkan berada di kelompok orang-orang jenius sementara ia sendiri punya kapasitas otak yang pas-pasan.
Tapi ternyata semua tidak seperti yang ia bayangkan, ia tetap bisa bersosialisasi dengan baik walaupun merasa menjadi yang paling rendah kapasitas otaknya untuk pelajaran Eksak, tapi dari sinilah ia mulai menemukan teman-teman yang asik.
Dengan teman sepermainannya yang berjiwa petualang banyak tempat yang telah mereka jelajahi, Berastagi, Law Kawar, Tangkahan, dan Sabang menjadi saksi petualangan Irhas yang dulunya sangat enggan untuk berpergian.

OK frenz... itu semua Cuma catatan spontan yang ada di otakku untuk awal usia 21-ku. Dan sekalian aku juga mau minta MAAF UNTUK SEMUA ORANG YANG PERNAH BERINTERAKSI DENGANKU, SEMOGA DIMAAFKAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar