Sabtu, 07 Juli 2012

Kata Abang


Kata Abangku yang pertama

“Menyerang itu cara bertahan yang cocok untukmu”

Kaum pria di keluarga kami punya bakat yang sama yaitu bermain tenis meja. Aku dilatih oleh abangku yang tertua, karena sudah sangat sering latihan bersama abangku faham bahwa menahan serangan lawan adalah kelemahanku, sampai akhirnya dia bilang.
“Menyerang itu cara bertahan yang cocok untukmu” artinya agar lawan berhenti menyerang maka aku harus serang balik, jangan hanya bertahan.

Kata-katanya ini pernah aku terapkan, namun untuk kasus yang berbeda.

Waktu itu aku masih SD, aku dan teman-temanku rutin pergi sholat maghrib ke mesjid. Tapi hari itu hanya aku dan Rian tetanggaku yang pergi sholat ke mesjid, sialnya dalam perjalanan ke mesjid dua anjing benggali (julukan di daerahku untuk orang india yang punya banyak lembu) yang biasanya diikat dipagar rumahnya sedang bebas tanpa ikatan, dan kurasa moodnya hari itu sedang jelek.

Kata Bapak


Kata Bapakku

“Manfaatin apa yang ada”

Bapakku termasuk orang yang paling banyak memberi petuah dalam kehidupanku, ga terhitung kata-kata bijak yang sudah ia keluarin dari mulutnya untukku salah satunya adalah kalimat yang ini.
Kata-katanya ini sangat sering terngiang dalam hari-hariku, salah satunya, hari dimana aku hendak melakukan kegiatan perdana mencuci pakaian di pondok pesantrenku dulu.

Hari itu jumat hari liburnya para santri, aku yang baru genap seminggu menjadi santri di pondok pesantren ini belum terlalu lihai dalam melakukan segala aktifitas di pesantren ini, termasuk dalam hal hari apa dan jam berapa aku seharusnya mencuci pakaian.

Sebagian besar santri menumpuk pakaian kotornya untuk dicuci pada hari ini, termasuk aku. Sehingga ketika aku dan temanku Lukman datang ke hammam (kamar mandi : arab) kami seperti melihat panggung drama teater mencuci pakaian, manusia dengan tubuh basah berserakan bergerak kesana kemari bagai aktor, dihiasi buih dan busa yang behamburan bagai awan di musim semi,

Jumat, 06 Juli 2012

Kata Ibu


Kata Ibu
“Hidup itu penuh pilihan yang sulit”
Ibuku mengatakan hal ini ketika aku masih kecil, saat itu sulit bagiku untuk benar-benar memahami apa yang dimaksud ibuku, mungkin karena otakku yang pada saat itu juga masih kecil. Tapi suatu pengalaman benar-benar membuatku yakin kalau yang diucapkan ibuku itu sangat benar.

 Kejadiannya sekitar beberapa tahun yang lalu tepatnya ketika 3 hari menjelang hari raya ‘iduh Adha. Waktu itu aku berstatus sebagai santri salah satu pondok pesantren, dan sialnya pihak pondok pesantren tidak mengizinkan santri untuk pulang atau liburan dirumah, dengan alasan masa libur yang hanya seminggu, padahal aku sudah cukup lama tidak pulang.

Aku berkeliling pesantren sembari meratapi kesialanku karena gagal liburan di rumah. Aku merasa seperti narapidana yang dikurung di kawasan yang di kelilingi pagar yang lumayan tinggi. “Pagar...” otakku berdenting, aku berpikir pagar di pesantrenku tidak terlalu tinggi, kurasa aku mampu melompatinya, sementara semua orang sedang sibuk mempersiapkan hari raya qurban, jadi kupikir tidak akan ada yang tahu kalau aku melarikan diri dengan cara lompat pagar. Untuk masalah

Minggu, 01 Juli 2012

Good Bye Boy


Boy adalah nama yang kuberikan kepada netbook mini yang kumiliki sejak empat setengah tahun yang lalu. Ukurannya hanya  8 inci, beratnya sekitar 1,5 kilogram, warnanya hitam hampir tidak ada warna lain dirinya.

Empat setengah tahun yang lalu, tepatnya beberapa Minggu setelah aku mengenyam pendidikan di IAIN SU, ibuku bilang,

“Uangmu udah cukup untuk beli laptop? Kalo belum biar ibu tambahin Mau...?”

Aku langsung menganggukkan kepalaku berkali-kali hampir aku lupa berhenti kalau kakakku tidak menjitak kepalaku dari belakang, TAAAK..

“Seneng kali lah dia tu...” seru kakakku dengan nada meledek