Rabu, 03 Oktober 2012

Aku Bukan Guru PAUD


Aku hidup di lingkungan yang pekat dengan dunia belajar mengajar atau lebih simpelnya dunia murid dan guru. Buktinya rumahku hanya berjarak 20 meter dari sekolah SD Negeri yang tentunya punya dua kelompok mayoritas yaitu murid dan guru, rumahku juga tiap malam penuh dengan anak-anak yang belajar membaca Alquran dan ayahku sebagai gurunya, saudara-saudaraku puluhan yang sudah berprofesi sebagai guru, dan aku sendiri kini berprofesi sebagai mahasiswa di IAIN SU dan sebagai guru di sebuah tempat kursus komputer.

Tapi dari semua profesi guru itu kurasa ada satu profesi yang paling berat yaitu, jadi guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dan aku rasa itu bukan cuma berat tapi juga ngeri, aku enggak akan tahan berada satu ruangan dengan puluhan anak-anak yang dari hidungnya sering keluar ingus itu, belum lagi kalau nangis cairannya bisa keluar dari segala lobang, dari mata, hidung, anus ups...  Jadi aku betul-betul salut sama para guru PAUD.

Dan kebetulan yayasan tempat aku mengajar sekarang selain membuka kursus komputer juga membuka PAUD. Jadi saat aku masuk pagi sebelum mengajar komputer aku masih sempat melihat aktivitas yang ada di kelas PAUD. Kelas itu cukup luas, berisi sekitar 10 sampai 15 anak kecil dan 1 orang guru, sedangkan para orang tua anak-anak kecil tersebut berjejer di depan jendela.

Aktivitas yang terlihat di kelas itu sudah jelas belajar sambil bermain atau kebalikannya bermain sambil belajar, terkadang seorang anak disuruh gurunya untuk berhitung dari satu sampai sepuluh dalam bahasa inggris, dan ketika anaknya mampu seorang ibu berteriak dengan girang


“ITU ANAKKU... Hebat kan”

Juga terkadang seorang anak disuruh untuk membaca surah Al-Ikhlash dan ketika anak tersebut mampu menyelesaikan bacaannya hingga akhir, seorang ibu yang lain berteriak

“WAH ITU ANAKKU.. Calon Ustadz”

Dan sesekali di tengah aktivitas belajar seorang anak berteriak dari belakang
“BUU... CECAK ENCCIISSS, UDAH TUAL ITIT ITIT NIH...!!!” (Bu sesak pipis udah keluar sikit-sikit nih), lalu hampir seluruh ibu-ibu berteriak

“ITU ANAKNYA...” sambil menunjuk seorang ibu yang mukanya memerah karena malu.

Salah satu ciri khas PAUD di daerahku adalah biasanya gurunya adalah perempuan, sangat jarang aku jumpai PAUD di daerahku yang gurunya laki-laki, mungkin karena memang perempuan punya sikap lemah lembut yang tinggi dari cara ngomong, berjalan, mengajar semua dilakukan dengan lemah lembut, sesuai dengan anak-anak PAUD yang sangat butuh kelembutan dalam proses belajarnya.

Sementara laki-laki, apalagi laki-laki yang sepertiku, yang nada bicaranya mirip dengan mandor pekerja bangunan, keras dan setengah membentak, tentu enggak akan cocok satu ruangan dengan para anak PAUD, kuakui pria-pria sepertiku minim akan sifat lemah lembut.

Aku coba membayangkan seandainya aku jadi guru PAUD, pemandangan yang terlihat di kelas PAUD pasti jauh berbedda dengan kelas PAUD yang ditangani guru perempuan. Kadang di kelas itu terdengaar seorang anak bekata dengan kuat

“BU.. INYUS CI AMLI UDAH MAU CAMPE ULUT” (Bu Ingus si Amri udah mau sampe mulut) lalu ibu guru itu pun mendekati anak yang ingusan tadi (Amri) dan mengeluarkan sapu tangannya.

“Waah si abang udah besar kok gini, lain kali kalo ingusan bilang sama ibu ya sayang” kata ibu guru itu sambil mengelap hidung Amri dengan penuh kelembutan.

Kalau aku yang berada di posisi itu mungkin aku bakalan bingung, karena aku jijik dengan ingus dan aku jarang bawa sapu tangan, aku pasti bakalan liat ke sana-sini mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengelap ingus si Amri. Dan pandanganku berhenti di secarik kertas, aku pun mendatangi Amri dan langsung mengelap hidungnya dengan kertas, amri megap-megap karena hidungnya digesek-gesek dengan benda kasar, kemudian aku membuat bulatan-bulatan kecil dengan kertas tadi dan kusumbatkan ke hidung Amri sambil berkata.

“Udah ya biar gitu aja, biar enggak keluar lagi ingusnya” dan sejam kemudian amri lemas nyaris pingsan karena kesulitan bernafas.

Dan enggak jarang juga ditengah kegiatan belajar ada anak yang menangis dengan kuat dan biasanya ini terjadi di jam-jam mendekati akhir pelajaran disaat tenaga si guru sudah agak terkuras, tapi begitu pun ibu guru tadi mendekati anak yang menangis tadi, kemudian mengelus kepalanya sambil berbisik dengan lembut di telinganya

“Udah ya sayang jangan nangis lagi, nanti pulangnya ibu antar deh, sekalian kita beli Es krim di jalan” mendengar itu si anak pun diam dan kembali ceria

Tapi kalau aku disaat capek kayak gitu ada anak yang menangis kuat-kuat, aku pun akan datang ke anak itu kupegang kepalanya sambil berbisik dengan lembut juga

“Udah ya diem jangan nangis lagi, kalo nangis terus nanti bapak lempar keluar jendela mau..?” mendengar itu si anak pun diam dengan ekspresi wajah cemas, takut dan terintimidasi.

Belum lagi ketika banyak anak yang rewel di saat bersamaan, ada yang menjerit

“BUUU... ENCILKU ATAH” (Bu pensilku patah), ada juga yang berteriak

“BUU... MAU EEK” ada lagi yang teriak

“BUU... LAPEL TADI AGI ELUM CALAPAN” (Bu laper tadi pagi belum sarapan), tapi biarpun begitu si Ibu guru tetap bisa tenang dan lembut dalam menangani semua anak yang rewel tadi.

Kalau aku pasti juga akan menanganinya dengan cepat, yang pensilnya patah langsung kurautkan pensil baru, yang lapar langsung kuberikan roti dan langsung kusuruh mengunyahnya, yang sesak eek langsung kuangkat ke kamar mandi, kubukakan celananya dan kusuruh buang air, semua beres, tapi tiba-tiba si anak yang di dalam kamar mandi bilang

“Pak.. aku kan lapel kok diculuh eek” (pak aku kan laper kok disuruh eek), sambil nepuk jidat aku teriak

“LAH KAU BUKANNYA YANG MAU EEK..??”

“Utan (bukan) yang mau eek ci kiki yang bapak kacih roti tadi” jawabnya polos, mampus aku anak mau eek malah dikasih makan, bisa-bisa meledak dan bececeran di kelas nih, pikirku sambil lari ngebut ke kelas.

Itulah sulitnya jadi guru PAUD, jadi jangan sepelekan guru PAUD, salut deh pokoknya buat ibi-ibu guru PAUD

1 komentar:

  1. hahaha
    seru ceritanya. Tapi, saya suka dengan lingkungan seperti itu. Dekat dengan anak-anak :)

    BalasHapus