Aku
hidup di lingkungan yang pekat dengan dunia belajar mengajar atau lebih
simpelnya dunia murid dan guru. Buktinya rumahku hanya berjarak 20 meter dari
sekolah SD Negeri yang tentunya punya dua kelompok mayoritas yaitu murid dan guru,
rumahku juga tiap malam penuh dengan anak-anak yang belajar membaca Alquran dan
ayahku sebagai gurunya, saudara-saudaraku puluhan yang sudah berprofesi sebagai
guru, dan aku sendiri kini berprofesi sebagai mahasiswa di IAIN SU dan sebagai
guru di sebuah tempat kursus komputer.
Tapi
dari semua profesi guru itu kurasa ada satu profesi yang paling berat yaitu,
jadi guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dan aku rasa itu bukan cuma berat
tapi juga ngeri, aku enggak akan tahan berada satu ruangan dengan puluhan
anak-anak yang dari hidungnya sering keluar ingus itu, belum lagi kalau nangis
cairannya bisa keluar dari segala lobang, dari mata, hidung, anus ups... Jadi aku betul-betul salut sama para guru
PAUD.
Dan
kebetulan yayasan tempat aku mengajar sekarang selain membuka kursus komputer
juga membuka PAUD. Jadi saat aku masuk pagi sebelum mengajar komputer aku masih
sempat melihat aktivitas yang ada di kelas PAUD. Kelas itu cukup luas, berisi
sekitar 10 sampai 15 anak kecil dan 1 orang guru, sedangkan para orang tua
anak-anak kecil tersebut berjejer di depan jendela.
Aktivitas
yang terlihat di kelas itu sudah jelas belajar sambil bermain atau kebalikannya
bermain sambil belajar, terkadang seorang anak disuruh gurunya untuk berhitung
dari satu sampai sepuluh dalam bahasa inggris, dan ketika anaknya mampu seorang
ibu berteriak dengan girang
“ITU
ANAKKU... Hebat kan”
Juga
terkadang seorang anak disuruh untuk membaca surah Al-Ikhlash dan ketika anak
tersebut mampu menyelesaikan bacaannya hingga akhir, seorang ibu yang lain
berteriak
“WAH
ITU ANAKKU.. Calon Ustadz”
Dan sesekali
di tengah aktivitas belajar seorang anak berteriak dari belakang
“BUU...
CECAK ENCCIISSS, UDAH TUAL ITIT ITIT NIH...!!!” (Bu sesak pipis udah keluar
sikit-sikit nih), lalu hampir seluruh ibu-ibu berteriak
“ITU
ANAKNYA...” sambil menunjuk seorang ibu yang mukanya memerah karena malu.
Salah
satu ciri khas PAUD di daerahku adalah biasanya gurunya adalah perempuan,
sangat jarang aku jumpai PAUD di daerahku yang gurunya laki-laki, mungkin karena
memang perempuan punya sikap lemah lembut yang tinggi dari cara ngomong,
berjalan, mengajar semua dilakukan dengan lemah lembut, sesuai dengan anak-anak
PAUD yang sangat butuh kelembutan dalam proses belajarnya.
Sementara
laki-laki, apalagi laki-laki yang sepertiku, yang nada bicaranya mirip dengan
mandor pekerja bangunan, keras dan setengah membentak, tentu enggak akan cocok
satu ruangan dengan para anak PAUD, kuakui pria-pria sepertiku minim akan sifat
lemah lembut.
Aku
coba membayangkan seandainya aku jadi guru PAUD, pemandangan yang terlihat di
kelas PAUD pasti jauh berbedda dengan kelas PAUD yang ditangani guru perempuan.
Kadang di kelas itu terdengaar seorang anak bekata dengan kuat
“BU..
INYUS CI AMLI UDAH MAU CAMPE ULUT” (Bu Ingus si Amri udah mau sampe mulut) lalu
ibu guru itu pun mendekati anak yang ingusan tadi (Amri) dan mengeluarkan sapu
tangannya.
“Waah
si abang udah besar kok gini, lain kali kalo ingusan bilang sama ibu ya sayang”
kata ibu guru itu sambil mengelap hidung Amri dengan penuh kelembutan.
Kalau
aku yang berada di posisi itu mungkin aku bakalan bingung, karena aku jijik
dengan ingus dan aku jarang bawa sapu tangan, aku pasti bakalan liat ke
sana-sini mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengelap ingus si Amri. Dan
pandanganku berhenti di secarik kertas, aku pun mendatangi Amri dan langsung
mengelap hidungnya dengan kertas, amri megap-megap karena hidungnya
digesek-gesek dengan benda kasar, kemudian aku membuat bulatan-bulatan kecil
dengan kertas tadi dan kusumbatkan ke hidung Amri sambil berkata.
“Udah
ya biar gitu aja, biar enggak keluar lagi ingusnya” dan sejam kemudian amri
lemas nyaris pingsan karena kesulitan bernafas.
Dan
enggak jarang juga ditengah kegiatan belajar ada anak yang menangis dengan kuat
dan biasanya ini terjadi di jam-jam mendekati akhir pelajaran disaat tenaga si
guru sudah agak terkuras, tapi begitu pun ibu guru tadi mendekati anak yang
menangis tadi, kemudian mengelus kepalanya sambil berbisik dengan lembut di
telinganya
“Udah
ya sayang jangan nangis lagi, nanti pulangnya ibu antar deh, sekalian kita beli
Es krim di jalan” mendengar itu si anak pun diam dan kembali ceria
Tapi
kalau aku disaat capek kayak gitu ada anak yang menangis kuat-kuat, aku pun
akan datang ke anak itu kupegang kepalanya sambil berbisik dengan lembut juga
“Udah
ya diem jangan nangis lagi, kalo nangis terus nanti bapak lempar keluar jendela
mau..?” mendengar itu si anak pun diam dengan ekspresi wajah cemas, takut dan
terintimidasi.
Belum
lagi ketika banyak anak yang rewel di saat bersamaan, ada yang menjerit
“BUUU...
ENCILKU ATAH” (Bu pensilku patah), ada juga yang berteriak
“BUU...
MAU EEK” ada lagi yang teriak
“BUU...
LAPEL TADI AGI ELUM CALAPAN” (Bu laper tadi pagi belum sarapan), tapi biarpun
begitu si Ibu guru tetap bisa tenang dan lembut dalam menangani semua anak yang
rewel tadi.
Kalau
aku pasti juga akan menanganinya dengan cepat, yang pensilnya patah langsung
kurautkan pensil baru, yang lapar langsung kuberikan roti dan langsung kusuruh
mengunyahnya, yang sesak eek langsung kuangkat ke kamar mandi, kubukakan
celananya dan kusuruh buang air, semua beres, tapi tiba-tiba si anak yang di
dalam kamar mandi bilang
“Pak..
aku kan lapel kok diculuh eek” (pak aku kan laper kok disuruh eek), sambil
nepuk jidat aku teriak
“LAH
KAU BUKANNYA YANG MAU EEK..??”
“Utan
(bukan) yang mau eek ci kiki yang bapak kacih roti tadi” jawabnya polos, mampus
aku anak mau eek malah dikasih makan, bisa-bisa meledak dan bececeran di kelas
nih, pikirku sambil lari ngebut ke kelas.
hahaha
BalasHapusseru ceritanya. Tapi, saya suka dengan lingkungan seperti itu. Dekat dengan anak-anak :)